Rabu, 30 Januari 2013

Yaa Nasib...


                Assalamu’alaikum
                Hari ini daku senaaaaang sekali. Kenapa? Masih nanya. Daku dapat pelajaran yang tak terlupakan, dan melatih memutus urat malu saat keadaan mendesak. Haha. Sperti kata mama saat menyambut daku pulang, “pengalaman, biar hidup berwarna”. Sudah cukup berwarna kok, ma. Warna lebam.

                Dimulai dari pagi yang istimewa hak hak, saat Abah istilah banjarnya ‘mehanggus lawang kamar’ karena daku tak kunjung bangun juga. Maklum malam sebelumnya daku tidur jam 12 malam, biasa pelajar. Pelajar yang selalu belajar. Dan malam itu daku mempelajari tentang ‘koneksi internet yang mendadak cetar saat hari hujan’ dan daku mendapat kesimpulan kalau itu bukan mitos.

                Singkat cerita daku bangun sambil merem melek, lantaran dibangunkan secara paksa itu kurang baik untuk kondisi psikologis dan mental yang daku punya. Daku mandi, sikat gigi, daku sholat subuh, dan daku sempat ngedumel sedikit pada jilbab daku yang ujungnya tak mau nurut. Setelah itu daku makan nasi plus telur mata sapi, lalu daku bersiap mengambil tas dan jintingan. Daku menunggangi motor dengan percaya diri, sampai hampir lupa bilang salam. Intinya, jam 7 pagi daku turun dari rumah dengan prima.

                Daku menyadari bensin udah merah, diujungnya pula. Saat itu sempat terpikir ingin isi bensin di eceran depan SD Pemda 5, ternyata disana penuh sekali. Daku berfikir, kalau nekat antri nanti bisa telat. Jadi daku teruskan perjalanan sedikit lebih jauh.

                Daku masuk ke jalan raya bima, bermaksud ingin isi bensin di kios Bunga. Ternyata baru masuk Bima, beat merah kesayangan daku ini mulai batuk-batuk, tersendat-sendat, lalu tumbang. Tepat didepan rumah besar didepan raya Bima. Daku bingun, lantas turun dari motor. Bunga sudah dekat, akhirnya daku pilih untuk dorong itu motor sampai sana. Sempat berhenti pula lalu pura-pura main hape saat daku berpapasan dengan adik kelas.

                Singkat kata daku sampai di Bunga, dan apa yang daku lihat? Rolling door-nya masih tertutup rapat, seakan mengejek daku. Beat pun dibiarkan bertengger didepannya. Daku melepas helm dan berfikir. Dua nama yang daku yakin sedang bersama yaitu Puri dan Fitri. Daku segera mengambil hp dan memanggil Fitri.

                Sisa pulsa anda tidak cukup untuk melakukan panggilan ini…

                Ingin daku berlari saja kerumah Fitri, sayang jauh. Daku mencek pulsa dan terpampang nyata angka 208 rupiah. Daku berfikir hanya bisa sms. Daku pun memilih mengirim sms ke Puri karena Fitri kurang apdet kalau masalah pesan di hp. Isinya kurang lebih sama memelasnya seperti keadaan saat itu.

                Puriii pdhi fitry kendaraan ku mogok dimuka bunga. Minyaknya habis! Kyp nah bunganya tutup
                Sent.

                Tiba-tiba rolling door terbuka dari dalam. Ingin rasanya memeluk mbak-mbak yang menatap daku dengan tempang bingung saat itu. daku menunjuk rak tempat biasa menyimpan minyak dengan sukacita.
                “Mbak, minyak ada?”
                “Minyaknya habis,”
               
                Haha.
                Hahahahaha.

                Daku berusaha bernafas normal.
                “Kalau pulsa ada jual?”
                “Ada, masuk aja,”

                Daku masuk, pulsa terisi 10 ribu, dan segera menelpon fitri. Sempat terbaca sms dari fitri Din where aree you.
                “Fit situ dimana?!”
                “Dirumah kam dimana?”
                “Dibunga, mogok. Minyaknya habis dan blab blab blab blabs….”
                “O-oke. Kami kesana,”

                Akhirnya daku kembali menanti. Seorang mbak-mbak yang lain keluar lagi dari bunga dan mendatangi saya.
                “Minyak kah?”
                Cukup emosi, daku membalas.
                “Ini mogok disini. Minyaknya situ habis lo?”
                Si mbak seperti bingung sendiri.
                “Yak ah? Oh iya habis. He…he…”
                Kepalamu. Dia ketawa.


                Dari jauh samar-samar terlihat dua sosok naik beat hitam melesat melewati daku, yang didepan dengan antusias berteriak.
                “Kami belikan minyak, tunggu sana,”
                Daku tersenyum. Akankah hari ini berakhir bahagia?

                Puri dan Fitri kembali, sedikit awkward melihat Puri menenteng pasrah saringan minyak dan sebotol bensin. Daku menyambut dengan bahagia, lantas membuka jok dan memasukan minyak ke tangki. Sepertinya saat itu si Puri sempat ketiwi saat daku panik membuka tutup minyak sialan itu.
                “Sudah parak masukan, 5 menit lagi,” kata Fitri. Daku menyerahkan perangkat isi bensin itu dan mereka berdua bersiap ingin mengembalikan ke tukang bensin yang asli. Mereka melaju mendahului daku, Puri mengisyaratkan untuk lewat beruntung. Daku meng oke kan dengan senyum.

                Daku tunggangi beat merah dengan sayang. Dalam hati mengatakan ‘sori babe kamu ampe kelaperan kayak gini’. Daku mengangguk pada dua mbak-mbak yang masih sibuk itu dan mulai menstarter. Mati. Daku starter lagi. Mati lagi. Daku starter lagi lagi. Mati lagi lagi. Starter starter starter sekuat tenaga, tetap mati. Daku menoleh pada dua mbak Bunga.
                “Kenapa yo nih?”
                Seorang mbak tersenyum dan menghampiri daku. Bagai pahlawan, daku beri jalan seluas-luasnya. Dia starter, masih mati. Dia standard beat daku dan mulai meninjak-ninjak pedal. Lalu starter. Lalu tinjak. Lalu starter. Lalu tinjak. Bakar aja mbak, saya udah habis sabar.  Si mbak masih belum berhasil. Dia lalu menoleh pada mbak satunya sambil berkata “Nih gara-gara ikam kada mandi. Makanya kendaraannya kada mau hidup-hidup. Siup”.
                Sekitar 10 menit daku dan si mbak berkutat. Senyum si mbak memudar. Dia menatap daku dan berkata,
                “Yang handak laju jadi lambat, ya lo ding?”
                Daku tersenyum kecut. Puding?  Sempat terlintas untuk menghubungi kuitan di rumah. Tiba-tiba beat mulai menunjukan tanda-tanda hidup. Setiap starteran semakin menjanjikan hingga benar-benar hidup. Daku langsung bersiap menghempaskan pantat ke jok sambil ber “terimakasih lah mbak” tapi dihalangi.
                “Tunggu sampai panas,”
                “Oh, oke!”
                Beberapa saat sampai kepala saya yang panas.
                “Sudah,”
                “Terimakasih lah mbak,”
                Daku memutar arah.
                “Terimakasih lah mbaaaak,”
                “Iyaaa”

                Daku putuskan ambil jalan Banjar Indah. Daku sempat ternganga saat melihat tukang jual bensin didepan sampah-sampah dekat muara jalan Bima. Cairan-cairan kuning itu seakan tertawa mengejek daku.
                Sepanjang jalan daku tak lihat seorang pun memakai batik smaven. Daku optimis telat. Tapi masih ada harapn dihati saat melihat disimpangan gerbang smaven ada yang memakai seragam yang sama. Daku berdoa dalam hati. Dan…


                Daku tertahan di gerbang yang pagarnya tertutup. Bersama beberapa siswa lain. lumayan banyak, hanya saja tidak ada yang sekelas daku. Daku benar benar foeva alone.
                Hp bergetar, terdengar suara pacar daku menyanyi, daku segera meraih hp dan membaca nama penelpon.  Puri panda unyu.
                “Halo din kam dimana?”
                “Didepan gerbang Pur, telat,”
                “Yaaah, kayapa nih?”
                “Yah, kaitu pangs. *daku ceritakan kronologi singkatnya*”
                “Yaaaah, maaf lah timbul jadi kaini,”
                “Iyaaaa *hati menangis, mata menatap penunjuk sisa minyak di spedometer*

                Setelah beberapa menit daku dan yang lain diizinkan masuk. Tanpa menunggangi motor. Daku harus dorong itu motor, seperti sebelumnya. Setelah itu daku dan yang lain disuruh mencari parkir sendiri ditempat parkir yang sudah membludak. Beberapa teman daku terlihat menyempil didepan pintu kelas Jepang. Daku melambai lemah. Setelah menggeser beberapa motor dan memarkirkan beat merah, daku ikut baris didepan pengawas harian.

                Sensei datang. Daku dan yang lain diceramahi. Daku sudah menyusun cerita mengharukan yang akan daku tulis di buku laporan, tapi begitu buku laporannya hampir ke tangan daku, daku sudah disuruh jalan ke ruang guru.

                “Kalian bereempat bersihkan ruang guru,”
                Daku menatap tiga gadis lainnya. Adik kelas semua. Daku pun mencari-cari sapu ke aula, disana bertemu ibu Wiji tersayang.
                “Terlambat Din?!” tanya beliau lantang. Mantap. Daku meringis dan mengangguk. Beliau lalu memanggil nama daku dengan logat khasnya.
                “Ambil sapu di Fisika dua Din,”
                “aye!”
                Daku berjalan menyusuri jalan sepanjang Fisika dua, melewati mading, melewati Ruang BTA dan Agama, melewati lapangan voli. Daku berusaha pasang tampang cool, kan orang-orang gak tau to daku lagi ngapain?
                “Din!”
                Daku berbalik mendengar cicitan sesuatu. Sesosok makhluk berbusana olahraga duduk didepan BTA menatap daku. Kalau tidak salah dia menunjuk daku dan mulai tertawa.
                Tertawa.
                Hahaha.
                Hahaha.

                Daku tinggalkan makhluk bernama Ayu itu lanjut ke kelas Fisika dua. Kelas XII IA 2. Dengan sopan daku tersenyum pada ka Gina. Daku tengok ke belakang pintu berharap ada beberapa batang sapu. Nihil. Hanya sebatang sapu loak. Butut. Buluk. Tengik.
                Daku putuskan tetap ambil itu sapu dan mencari di kelas Fisika satu. Isinya kalau tidak salah XI IA 5.
                “Permisi, pinjam sapu,”
                Para makhluk yang mengenal daku mulai mengeluarkan bunyi-bunyi ajaib. Daku tidak hiraukan dan membuka belakang pintu.
                Seluruh kelas bersorak. Tidak ada sapu di sana. Tidak ada apapun disana. Tanpa menoleh daku keluar kelas.

                Dengan sapu buluk yang daku ambil daku berlari ke ruang guru, menghindari si Ayu, dan menjalankan tugas disana. Sialnya, hanya ada daku dan seorang adik kelas yang menyapu disana. Dua yang lain hilang ditelan bumi.

                Kenistaan masih berlanjut. Daku mencoba menyapu dengan serius. Tiba-tiba semilir angin berhembus, menerbangkan sampah yang sudah susah-susah daku kumpulkan. Daku menatap kipas angin hidup diatas dengan penuh kebencian. Daku ingin mematikan, tapi disana banyak guru. Sedikit malas harus bicara sama guru sekarang. Akhirnya daku biarkan. Daku sapu, dia terbangkan. Daku sapu, dia terbangkan. Sampai ibu Norkhalis dan ibu Rahmi masuk ke ruangan dan menyadari penderitaan daku. Beliau langsung mematikan kipas angin. Daku cinta dua guru ini!

                Singkat kata daku berhadapan sebentar dengan Bu Wiji untuk mengambil surat kecil tanda masuk kelas dan kembali kekelas Jepang. Disambut meriah oleh XI IA 1. Dan disambut bingung oleh Sensei Wisnu saat daku serahkan kertas itu kemeja beliau.
                “Ya diapai nih?”
                “Ditandatangi lo sensei?”
                “Anu, minjam pulpen pang!” beliau lalu meminjam pulpen Ma’ul dan memberi ttd kecil dikertas.
                “Habis itu pang sensei kertasnya diapai?”
                “Nah makanya itu, habis itu sudah ay lo? Beapa kam menjulung ke sensei lagi,”
                “B-biar dah. Buat kenang-kenangan,”

                Daku lalu  menemukan Puri yang duduk menjanda, menunggu daku. Haha.

                Tak lama kemudian daku mendpat sms permintaan maaf dari Ayu karena sudah tertawa diatas penderitaan daku. Intinya dia mau bilang dia tersentuh dengan kronologi kejadian yang daku alami. Buat Ayu, daku maafkan. Daku doakan semoga dikau rasakan yang sama dilain hari. Daku ikhlas, ciyuz.


                Ini tjerita koe, apa tjerita moe?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar