Assalamu’alaikum
Hari
ini daku senaaaaang sekali. Kenapa? Masih nanya. Daku dapat pelajaran yang tak
terlupakan, dan melatih memutus urat malu saat keadaan mendesak. Haha. Sperti
kata mama saat menyambut daku pulang, “pengalaman, biar hidup berwarna”. Sudah
cukup berwarna kok, ma. Warna lebam.
Dimulai
dari pagi yang istimewa hak hak, saat Abah istilah banjarnya ‘mehanggus lawang
kamar’ karena daku tak kunjung bangun juga. Maklum malam sebelumnya daku tidur
jam 12 malam, biasa pelajar. Pelajar yang selalu belajar. Dan malam itu daku
mempelajari tentang ‘koneksi internet yang mendadak cetar saat hari hujan’ dan
daku mendapat kesimpulan kalau itu bukan mitos.
Singkat
cerita daku bangun sambil merem melek, lantaran dibangunkan secara paksa itu
kurang baik untuk kondisi psikologis dan mental yang daku punya. Daku mandi,
sikat gigi, daku sholat subuh, dan daku sempat ngedumel sedikit pada jilbab
daku yang ujungnya tak mau nurut. Setelah itu daku makan nasi plus telur mata
sapi, lalu daku bersiap mengambil tas dan jintingan. Daku menunggangi motor
dengan percaya diri, sampai hampir lupa bilang salam. Intinya, jam 7 pagi daku
turun dari rumah dengan prima.
Daku
menyadari bensin udah merah, diujungnya pula. Saat itu sempat terpikir ingin
isi bensin di eceran depan SD Pemda 5, ternyata disana penuh sekali. Daku
berfikir, kalau nekat antri nanti bisa telat. Jadi daku teruskan perjalanan
sedikit lebih jauh.
Daku
masuk ke jalan raya bima, bermaksud ingin isi bensin di kios Bunga. Ternyata
baru masuk Bima, beat merah kesayangan daku ini mulai batuk-batuk,
tersendat-sendat, lalu tumbang. Tepat didepan rumah besar didepan raya Bima.
Daku bingun, lantas turun dari motor. Bunga sudah dekat, akhirnya daku pilih
untuk dorong itu motor sampai sana. Sempat berhenti pula lalu pura-pura main
hape saat daku berpapasan dengan adik kelas.
Singkat
kata daku sampai di Bunga, dan apa yang daku lihat? Rolling door-nya masih
tertutup rapat, seakan mengejek daku. Beat pun dibiarkan bertengger didepannya.
Daku melepas helm dan berfikir. Dua nama yang daku yakin sedang bersama yaitu
Puri dan Fitri. Daku segera mengambil hp dan memanggil Fitri.
Sisa pulsa anda tidak cukup untuk melakukan
panggilan ini…
Ingin
daku berlari saja kerumah Fitri, sayang jauh. Daku mencek pulsa dan terpampang
nyata angka 208 rupiah. Daku berfikir hanya bisa sms. Daku pun memilih mengirim
sms ke Puri karena Fitri kurang apdet kalau masalah pesan di hp. Isinya kurang
lebih sama memelasnya seperti keadaan saat itu.
Puriii pdhi fitry kendaraan ku mogok dimuka
bunga. Minyaknya habis! Kyp nah bunganya tutup
Sent.
Tiba-tiba
rolling door terbuka dari dalam. Ingin rasanya memeluk mbak-mbak yang menatap
daku dengan tempang bingung saat itu. daku menunjuk rak tempat biasa menyimpan
minyak dengan sukacita.
“Mbak,
minyak ada?”
“Minyaknya
habis,”
Haha.
Hahahahaha.
Daku
berusaha bernafas normal.
“Kalau
pulsa ada jual?”
“Ada,
masuk aja,”
Daku
masuk, pulsa terisi 10 ribu, dan segera menelpon fitri. Sempat terbaca sms dari
fitri Din where aree you.
“Fit
situ dimana?!”
“Dirumah
kam dimana?”
“Dibunga,
mogok. Minyaknya habis dan blab blab blab blabs….”
“O-oke.
Kami kesana,”
Akhirnya
daku kembali menanti. Seorang mbak-mbak yang lain keluar lagi dari bunga dan
mendatangi saya.
“Minyak
kah?”
Cukup
emosi, daku membalas.
“Ini
mogok disini. Minyaknya situ habis lo?”
Si
mbak seperti bingung sendiri.
“Yak
ah? Oh iya habis. He…he…”
Kepalamu.
Dia ketawa.
Dari
jauh samar-samar terlihat dua sosok naik beat hitam melesat melewati daku, yang
didepan dengan antusias berteriak.
“Kami
belikan minyak, tunggu sana,”
Daku
tersenyum. Akankah hari ini berakhir bahagia?
Puri
dan Fitri kembali, sedikit awkward melihat Puri menenteng pasrah saringan
minyak dan sebotol bensin. Daku menyambut dengan bahagia, lantas membuka jok
dan memasukan minyak ke tangki. Sepertinya saat itu si Puri sempat ketiwi saat
daku panik membuka tutup minyak sialan itu.
“Sudah
parak masukan, 5 menit lagi,” kata Fitri. Daku menyerahkan perangkat isi bensin
itu dan mereka berdua bersiap ingin mengembalikan ke tukang bensin yang asli.
Mereka melaju mendahului daku, Puri mengisyaratkan untuk lewat beruntung. Daku
meng oke kan dengan senyum.
Daku
tunggangi beat merah dengan sayang. Dalam hati mengatakan ‘sori babe kamu ampe kelaperan kayak gini’. Daku mengangguk pada
dua mbak-mbak yang masih sibuk itu dan mulai menstarter. Mati. Daku starter
lagi. Mati lagi. Daku starter lagi lagi. Mati lagi lagi. Starter starter
starter sekuat tenaga, tetap mati. Daku menoleh pada dua mbak Bunga.
“Kenapa
yo nih?”
Seorang
mbak tersenyum dan menghampiri daku. Bagai pahlawan, daku beri jalan
seluas-luasnya. Dia starter, masih mati. Dia standard beat daku dan mulai
meninjak-ninjak pedal. Lalu starter. Lalu tinjak. Lalu starter. Lalu tinjak. Bakar aja mbak, saya udah habis sabar. Si mbak masih belum berhasil. Dia lalu
menoleh pada mbak satunya sambil berkata “Nih gara-gara ikam kada mandi.
Makanya kendaraannya kada mau hidup-hidup. Siup”.
Sekitar
10 menit daku dan si mbak berkutat. Senyum si mbak memudar. Dia menatap daku
dan berkata,
“Yang
handak laju jadi lambat, ya lo ding?”
Daku
tersenyum kecut. Puding? Sempat terlintas untuk menghubungi kuitan di
rumah. Tiba-tiba beat mulai menunjukan tanda-tanda hidup. Setiap starteran
semakin menjanjikan hingga benar-benar hidup. Daku langsung bersiap
menghempaskan pantat ke jok sambil ber “terimakasih lah mbak” tapi dihalangi.
“Tunggu
sampai panas,”
“Oh,
oke!”
Beberapa
saat sampai kepala saya yang panas.
“Sudah,”
“Terimakasih
lah mbak,”
Daku
memutar arah.
“Terimakasih
lah mbaaaak,”
“Iyaaa”
Daku
putuskan ambil jalan Banjar Indah. Daku sempat ternganga saat melihat tukang
jual bensin didepan sampah-sampah dekat muara jalan Bima. Cairan-cairan kuning
itu seakan tertawa mengejek daku.
Sepanjang
jalan daku tak lihat seorang pun memakai batik smaven. Daku optimis telat. Tapi
masih ada harapn dihati saat melihat disimpangan gerbang smaven ada yang
memakai seragam yang sama. Daku berdoa dalam hati. Dan…
Daku
tertahan di gerbang yang pagarnya tertutup. Bersama beberapa siswa lain.
lumayan banyak, hanya saja tidak ada yang sekelas daku. Daku benar benar foeva
alone.
Hp
bergetar, terdengar suara pacar daku menyanyi, daku segera meraih hp dan
membaca nama penelpon. Puri panda unyu.
“Halo
din kam dimana?”
“Didepan
gerbang Pur, telat,”
“Yaaah,
kayapa nih?”
“Yah,
kaitu pangs. *daku ceritakan kronologi singkatnya*”
“Yaaaah,
maaf lah timbul jadi kaini,”
“Iyaaaa
*hati menangis, mata menatap penunjuk sisa minyak di spedometer*
Setelah
beberapa menit daku dan yang lain diizinkan masuk. Tanpa menunggangi motor.
Daku harus dorong itu motor, seperti sebelumnya. Setelah itu daku dan yang lain
disuruh mencari parkir sendiri ditempat parkir yang sudah membludak. Beberapa
teman daku terlihat menyempil didepan pintu kelas Jepang. Daku melambai lemah.
Setelah menggeser beberapa motor dan memarkirkan beat merah, daku ikut baris
didepan pengawas harian.
Sensei
datang. Daku dan yang lain diceramahi. Daku sudah menyusun cerita mengharukan
yang akan daku tulis di buku laporan, tapi begitu buku laporannya hampir ke
tangan daku, daku sudah disuruh jalan ke ruang guru.
“Kalian
bereempat bersihkan ruang guru,”
Daku
menatap tiga gadis lainnya. Adik kelas semua. Daku pun mencari-cari sapu ke aula,
disana bertemu ibu Wiji tersayang.
“Terlambat
Din?!” tanya beliau lantang. Mantap. Daku meringis dan mengangguk. Beliau lalu
memanggil nama daku dengan logat khasnya.
“Ambil
sapu di Fisika dua Din,”
“aye!”
Daku
berjalan menyusuri jalan sepanjang Fisika dua, melewati mading, melewati Ruang
BTA dan Agama, melewati lapangan voli. Daku berusaha pasang tampang cool, kan
orang-orang gak tau to daku lagi ngapain?
“Din!”
Daku
berbalik mendengar cicitan sesuatu. Sesosok makhluk berbusana olahraga duduk
didepan BTA menatap daku. Kalau tidak salah dia menunjuk daku dan mulai
tertawa.
Tertawa.
Hahaha.
Hahaha.
Daku
tinggalkan makhluk bernama Ayu itu lanjut ke kelas Fisika dua. Kelas XII IA 2.
Dengan sopan daku tersenyum pada ka Gina. Daku tengok ke belakang pintu
berharap ada beberapa batang sapu. Nihil. Hanya sebatang sapu loak. Butut.
Buluk. Tengik.
Daku
putuskan tetap ambil itu sapu dan mencari di kelas Fisika satu. Isinya kalau
tidak salah XI IA 5.
“Permisi,
pinjam sapu,”
Para
makhluk yang mengenal daku mulai mengeluarkan bunyi-bunyi ajaib. Daku tidak
hiraukan dan membuka belakang pintu.
Seluruh
kelas bersorak. Tidak ada sapu di sana. Tidak ada apapun disana. Tanpa menoleh
daku keluar kelas.
Dengan
sapu buluk yang daku ambil daku berlari ke ruang guru, menghindari si Ayu, dan
menjalankan tugas disana. Sialnya, hanya ada daku dan seorang adik kelas yang
menyapu disana. Dua yang lain hilang ditelan bumi.
Kenistaan
masih berlanjut. Daku mencoba menyapu dengan serius. Tiba-tiba semilir angin
berhembus, menerbangkan sampah yang sudah susah-susah daku kumpulkan. Daku
menatap kipas angin hidup diatas dengan penuh kebencian. Daku ingin mematikan,
tapi disana banyak guru. Sedikit malas harus bicara sama guru sekarang.
Akhirnya daku biarkan. Daku sapu, dia terbangkan. Daku sapu, dia terbangkan.
Sampai ibu Norkhalis dan ibu Rahmi masuk ke ruangan dan menyadari penderitaan
daku. Beliau langsung mematikan kipas angin. Daku cinta dua guru ini!
Singkat
kata daku berhadapan sebentar dengan Bu Wiji untuk mengambil surat kecil tanda
masuk kelas dan kembali kekelas Jepang. Disambut meriah oleh XI IA 1. Dan
disambut bingung oleh Sensei Wisnu saat daku serahkan kertas itu kemeja beliau.
“Ya
diapai nih?”
“Ditandatangi
lo sensei?”
“Anu,
minjam pulpen pang!” beliau lalu meminjam pulpen Ma’ul dan memberi ttd kecil
dikertas.
“Habis
itu pang sensei kertasnya diapai?”
“Nah
makanya itu, habis itu sudah ay lo? Beapa kam menjulung ke sensei lagi,”
“B-biar
dah. Buat kenang-kenangan,”
Daku
lalu menemukan Puri yang duduk menjanda,
menunggu daku. Haha.
Tak
lama kemudian daku mendpat sms permintaan maaf dari Ayu karena sudah tertawa
diatas penderitaan daku. Intinya dia mau bilang dia tersentuh dengan kronologi
kejadian yang daku alami. Buat Ayu, daku maafkan. Daku doakan semoga dikau
rasakan yang sama dilain hari. Daku ikhlas, ciyuz.
Ini tjerita koe, apa tjerita moe?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar